Yuk! Bersama Kita Hapus Stigma Negatif Autis dan Dukung Alvinia Christiany Si Pejuang 'Teman Autis'
Saya memang nggak punya anak autis, tapi teman saya ada yang anaknya mengalami autisme. Dari mereka saya bisa merasakan bagaimana beratnya perjuangan dan pengorbanan dalam merawat anak dengan autisme.
Belum lagi, di masyarakat masih ada stigma negatif tentang autisme yang membuat saya merasa miris. Gimana nggak, masih banyak masyarakat yang menyamakan “kebodohan” dengan “autisme.”
Yang paling saya sayangkan adalah, masih seringnya saya mendengar orang yang melemparkan lelucon atau nyeletuk dan bilang ‘dasar autis!’ setiap kali ada teman yang bertindak konyol atau berbeda.
Awalnya, saya juga menganggap celetukan atau lelucon seperti itu sebagai sesuatu yang biasa. Karena memang, saya belum meliterasi diri dengan pengetahuan seputar autisme.
Tapi setelah mengenal keluarga teman saya yang punya anak autis, pandangan saya berubah. Kata ‘autis’ bukan lagi sekadar lelucon.
Karena bagi mereka yang hidup dengan autisme, istilah itu adalah bagian dari identitas mereka. Jadi, menggunakan istilah ini untuk bahan candaan pasti akan sangat melukai perasaan mereka yang mengalami autisme atau keluarga yang mendampingi.
Teman saya bilang, anaknya memang punya cara pandang berbeda, tapi bukan berarti mereka ‘aneh’ atau pantas dijadikan bahan ejekan.
Sebaliknya, mereka justru butuh banget sama lingkungan yang mendukung dan bisa menghargai. Atau paling nggak, jangan salahartikan anak yang mengalami autisme sebagai anak yang “aneh” atau anak yang “tidak cerdas.”
Itulah yang bikin saya merasa terpanggil untuk speak up tentang autisme, meskipun bukan pengalaman pribadi.
Dari pengalaman teman saya ini, saya banyak belajar tentang kondisi spektrum autisme dan pentingnya meningkatkan kesadaran masyarakat.
Setiap anak, termasuk mereka yang memiliki autisme, berhak dapat kesempatan untuk berkembang, bahagia, berasosiasi, dan dihargai.
Mengapa di Masyarakat Ada Stigma yang Mengaitkan Autisme dengan Keterbelakangan?
Jika berkaca pada diri saya sendiri yang dulu menganggap autisme sebagai keterbelakangan, saya rasa, stigma yang mengaitkan antara autisme dengan keterbelakangan di masyarakat sebagian besar disebabkan oleh beberapa faktor berikut ini.
Penyebab pertama adalah karena, adanya stigma lama yang menganggap anak autisme memiliki keterbelakangan mental atau keterbatasan intelektual.
Alasan kedua, karena kita sering menyalahartikan spektrum autisme sebagai sesuatu yang “aneh” atau “tidak cerdas,” hanya karena anak-anak autis menunjukkan ketertarikan yang berlebihan pada topik tertentu. Atau, karena mereka tidak selalu merespon seperti yang kita mau.
Memang benar, anak-anak dengan autisme kerap kali kesulitan dalam mengekspresikan emosi mereka, dan kadang-kadang memiliki keterbatasan dalam berbicara atau berkomunikasi. Sayangnya, berbagai keterbatasan tersebut sering kita salahpahami sebagai tanda kurangnya intelektualitas. Padahal, banyak lho individu dengan autisme yang memiliki potensi intelektual yang tinggi.
Nih, saya sebutin beberapa tokoh terkenal di dunia yang diyakini mengalami autisme. Mulai dari Mozart, Albert Einstein, Isaac Newton, dan bahkan tokoh-tokoh modern seperti Elon Musk serta Bill Gates juga disebut-sebut punya spektrum autisme lho.
Kalau kalian pernah nonton film Forest Gump, kalian akan memahami apa yang saya maksud ini. Karena film tersebut memang mengangkat tema tentang sosok autis yang awalnya dipandang rendah oleh masyarakat tapi pada akhirnya justru menjadi idola mereka.
Alasan ketiga adalah karena minimnya edukasi tentang autisme di tengah-tengah masyarakat kita. Sehingga, masih banyak masyarakat yang belum memahami tentang spektrum autisme.
Kurangnya edukasi di masyarakat ini diperparah oleh tingkat literasi Indonesia yang memang masih sangat rendah.
Menurut UNESCO, tingkat literasi di Indonesia menduduki peringkat kedua dari bawah di dunia. Data UNESCO menyebutkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Itu artinya, dari 1000 orang, hanya 1 orang yang rajin membaca.
Jadi, nggak heran kalau stigma autisme yang dikait-kaitkan dengan keterbelakangan masih marak hingga saat ini, bahkan di era smartphone dan AI yang memudahkan kita untuk mengakses informasi.
Meski data UNESCO menyebutkan kalau tingkat literasi masyarakat kita sangat rendah, tapi saya tetap merasa perlu berkontribusi untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang autisme, khususnya melalui tulisan seperti artikel ini.
Jadi, jangan ragu untuk share atau membagikan tulisan ini kepada teman-teman kalian supaya mereka juga ikut terliterasi dan bisa memahami tentang autisme dengan lebih baik. Supaya tidak ada lagi kasus-kasus bullying atau ungkapan-ungkapan negatif yang bisa menyinggung perasaan teman-teman autis atau para pendampingnya.
Ngomong-ngomong soal meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat mengenai autisme serta bagaimana caranya memberikan dukungan kepada keluarga yang memiliki anak-anak autis, saya jadi teringat pada salah satu tokoh inspiratif yaitu, Alvinia Christiany.
Kisah Alvinia Christiany Rintis Organisasi Non Profit “Teman Autis” Sebagai Sumber Informasi Tentang Autisme
Sebelum dikenal dengan nama “Teman Autis,” organisasi non-profit ini sebelumnya bernama Light it Up Project, didirikan pada tahun 2017 oleh Alvinia Christiany bersama koleganya.
Aksi perundungan atau tatapan aneh hingga penggunaan kata “autis” sebagai ledakan yang sering ia dengar membuat Alvinia Christiany tergerak untuk membentuk organisasi ini. Karena menurutnya, autisme bukanlah kesalahan mereka yang mengalaminya.
Ketika pertama kali didirikan, organisasi ini hanya mengandalkan dana mandiri yang sebagian besar berasal dari anggotanya.
Seiring waktu dan seiring dengan semakin seringnya organisasi ini mengadakan kampanye Gerakan Teman Autis, semakin banyak support yang membantu mereka mengembangkan website untuk berbagai informasi tentang autisme.
“Kita jalan bareng anak-anak yang punya kondisi autisme beserta orangtuanya di car free day, Sudirman (Jakarta). Kami bawa spanduk untuk mensosialisasikan autisme kepada pengunjung di sana, sekalian untuk meningkatkan kesadaran autisme di lingkungan sekitar kami. Dengan acara itu, orangtua yang lain jadi bisa ngobrol dan berbagi pengalaman sama orangtua lainnya.” Begitu kenang Alvinia Christiany saat berbincang-bincang via Zoom.
Di situs Teman Autis yang beralamat di https://temanautis.com, berbagai informasi mengenai autisme sangat lengkap. Mulai dari, mengenal apa itu autisme, apa saja kriterianya, penyebabnya, faktor-faktor yang bisa memperparah autisme, apa saja spektrum autisme, bagaimana cara mendampingi anak autis, dan masih banyak informasi lainnya yang bisa kita akses di website ini. Termasuk, berbagai informasi mengenai sekolah hingga layanan kesehatan khusus untuk anak-anak ABK juga ada.
Alvinia Christiany Terima Apresiasi Astra Sebagai Pejuang 'Teman Autis'
Buat kalian yang belum tahu, apresiasi SATU Indonesia Awards ini adalah semacam penghargaan bagi individu atau kelompok (generasi muda Indonesia) yang dianggap memiliki kontribusi dalam memajukan dan menginspirasi di 5 bidang yaitu, pendidikan, lingkungan, kesehatan, kewirausahaan, dan teknologi.
SATU Indonesia Awards sendiri merupakan bagian dari program Corporate Social Responsibility (Tanggungjawab Sosial Perusahaan) Astra.
![]() |
source : Instagram Kumparan |
Jadi, SATU Indonesia Awards ini bukan cuma sekedar apresiasi Astra kepada generasi muda yang berprestasi dan inspiratif, tapi juga bentuk komitmen Astra dalam membangun bangsa.
Pada tahun 2022, Alvinia Christiany menerima apresiasi dari Astra pada ajang SATU Indonesia Awards dibidang kelompok atas dedikasinya sebagai pejuang bagi komunitas Teman Autis.
Bersama timnya, Alvinia Christiany telah menciptakan wadah (website temanautis.com) yang digunakan untuk mengedukasi masyarakat tentang autisme.
Di samping itu, melalui organisasi Teman Autis, Alvinia Christiany telah membangun jaringan dan dukungan yang luas bagi teman-teman autis. Sehingga, individu maupun keluarganya bisa lebih mudah mengakses klinik, dokter gigi, tempat-tempat terapi, hingga sekolah khusus ABK (anak berkebutuhan khusus) yang dekat dari lokasi tempat tinggalnya masing-masing.
Referensi :
https://www.astra.co.id/satu-indonesia-awards
Comments