Keren! Rudy Kurniawan Manfaatkan Ruang Edukasi Anak Muda untuk Melawan Diabetes

 “Saya salah satu penyandang diabetes. Saya didiagnosa waktu umur 27 tahun. Sudah lebih dari 4 tahun saya hidup berdampingan dengan penyakit ini. Dulu pikiran saya, ah… saya masih muda, masih kuat, nggak mungkin kena. Ternyata diam-diam tubuh saya sudah protes sejak lama.”

Pengakuan ini datang dari seorang penderita diabetes usia muda. Ceritanya singkat, tapi mewakili kenyataan di era ini, era di mana anak muda Indonesia sering merasa tubuh mereka kebal penyakit, sampai semuanya terlambat.



Tentang Usia Penderita Diabetes yang Semakin Muda

Pada 2018, jumlah anak muda yang tercatat mengidap diabetes memang terlihat kecil, sekitar setengah persen saja. Namun di balik angka yang tampak aman itu, tersembunyi situasi yang jauh lebih serius.
Nyaris satu dari lima penderita muda justru tidak mengetahui dirinya mengalami diabetes dan tidak menjalani pengobatan sama sekali. Mereka tidak merasa sakit, itulah sebabnya mereka tidak merasa perlu berobat.

Tren kematiannya pun bergerak naik. Dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun, diabetes pada usia (dewasa) muda melompat dari yang tadinya penyebab kematian urutan ke-8 menjadi urutan ke-6.
Bukan hanya itu, penyakit ini kini juga menjadi salah satu penyebab tertinggi hilangnya produktivitas dan tahun kehidupan sehat (DALY) pada kelompok usia yang seharusnya sedang berada pada puncak energi.
Dengan kata lain, penyakit ini bisa dikatakan sebagai salah satu silent killer di kalangan anak muda, karena tampak tenang di permukaan tapi bergejolak di bawahnya. Ya, korbannya adalah anak muda yang tidak menyadari kapan penyakit itu mulai menggerogoti tubuh mereka.

Tidak seperti penyakit yang memiliki gejala dramatis, diabetes datang tanpa mengetuk pintu. Kadangkala ditandai dengan berat badan yang sedikit turun, gampang haus, atau cepat capek. Sayangnya, tanda-tanda ini seringkali diabaikan dan dianggap sebagai “kecapekan kerja” atau “efek kurang tidur saja.”
Ini sebabnya diabetes dijuluki silent killer. Ia bekerja perlahan, tetapi pasti. Dan, sering kali baru disadari ketika kerusakan telah terjadi.

Diabetes, Keresahan yang Mengetuk Hati Nurani

Itulah yang menyebabkan sosok dr. Rudy Kurniawan terketuk hatinya untuk berbuat sesuatu. Dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) ini bukan cuma melihat diabetes sebagai persoalan medis, tetapi juga sebagai masalah perilaku sosial. Pasalnya, banyak anak muda yang tidak merasa sakit, sehingga tidak peduli.




Rudy pernah bercerita bahwa kekhawatirannya dimulai dari pertanyaan sederhana pada 2014 silam... “Kenapa kalau ada orang pilih makan rendah gula, langsung dikira kena diabetes? Sejak kapan hidup sehat dianggap aneh?”

Dari pertanyaan itu ia menyadari bahwa, persoalan terbesar bukan hanya penyakitnya, tetapi ‘narasinya.’ Selama diabetes terus dibicarakan dengan nada menakutkan, anak muda tidak akan mendekat, mereka justru menjauh. Padahal pencegahan hanya efektif jika dimulai sebelum sakit.

“Sobat Diabet” Sebagai Media Pendekatan yang Tidak Menggurui

Berangkat dari keresahan tersebut, Rudy mendirikan Sobat Diabet yang belakangan berkembang menjadi Sobat Diabet Academy (SoDi). Inisiatif ini menjadi wadah edukasi kesehatan yang dikemas dengan gaya kekinian, ringan, dekat dengan keseharian, dan tanpa kesan “menceramahi.”
Kegiatannya beragam, mulai dari,
  • Kelas daring dan talkshow interaktif
  • Cooking class rendah gula
  • 3 Days Fit Challenge
  • Olahraga bareng komunitas, hingga
  • Konten edukasi lucu/informatif di media sosial

Relawannya pun mayoritas anak muda di bawah 35 tahun, tersebar di berbagai kota. Pendekatannya sederhana namun efektif. Edukasi bukan hanya soal menyampaikan informasi, tetapi membangun sense of belonging. Maksudnya, menarasikan bahwa, gaya hidup sehat adalah bagian dari gaya hidup keren.
Banyak alumni relawan kemudian menjadi agen perubahan di daerahnya masing-masing. Mereka membuat kegiatan cek gula darah gratis, kampanye digital lokal, hingga bekerja sama dengan sekolah atau kampus untuk promosi gaya hidup sehat.

Gejala Diabetes “Tak Biasa” pada Anak Muda yang Sering Tidak Disadari

Rudy dan timnya juga menyadari bahwa generasi muda membutuhkan “bahasa baru” untuk mengenali gejala diabetes. Bukan diagnosis dokter, tetapi tanda-tanda keseharian yang muncul pelan-pelan, seperti,
  • Tidur cukup, tapi tetap gampang lelah
  • Lapar terus meski baru makan
  • Berat badan turun tanpa alasan jelas
  • Kulit mudah gatal atau luka lama sembuh
  • Sering haus atau buang air kecil berulang
  • Mudah emosi atau sulit fokus
Pada anak muda, gejala-gejala ini kerap dianggap biasa, misalnya akibat workload tinggi, kurang tidur, atau overthinking. Di sinilah Sobat Diabet Academy memainkan peran, mereka mengubah ketidaksadaran menjadi kesadaran dengan cara yang tidak membuat orang merasa “sakit sebelum waktunya,” tapi justru terdorong memeriksa diri lebih dini.

Dampak Sobat Diabet Academy untuk Komunitas

Selama beberapa tahun, SoDi bukan lagi sekadar komunitas edukasi kesehatan. Komunitas ini berkembang menjadi ruang tumbuh kesadaran, keterhubungan, dan aksi nyata. Edukasinya tidak berhenti di kelas, tapi berubah menjadi kebiasaan sehari-hari. Ketika orang sadar, mereka lalu berbagi dari satu orang ke lingkar sosialnya, dari satu komunitas ke komunitas lain.

Inilah bukti terbesar bahwa, pencegahan bisa tumbuh dari solidaritas, bukan ketakutan.

Penghargaan SATU Indonesia Award Sebagai Pengakuan Astra

Pada 2023, kiprah Rudy melalui Sobat Diabet mendapat pengakuan resmi lewat SATU Indonesia Award (Bidang Kesehatan) dari Astra. Penghargaan ini bukan hanya simbol prestasi, tetapi pengakuan bahwa upaya promotif-preventif yang menyentuh akar persoalan, yakni perilaku dan kesadaran, sama pentingnya dengan layanan medis.

Rudy membuktikan sesuatu yang sederhana tapi efektif, yaitu edukasi yang humanis dapat menyelamatkan lebih banyak orang daripada sekadar menakut-nakuti mereka dengan ancaman penyakit.
Pada akhirnya, perjuangan melawan diabetes bukan hanya soal angka gula darah, tetapi soal memberdayakan generasi muda agar mampu menjaga masa depannya sendiri.

Dan lewat tangan-tangan relawan muda yang terus tumbuh, gerakan ini menjadi bukti bahwa perubahan besar sering lahir dari empati, dan bukan dari rasa takut.

Sobat Diabet menunjukkan bahwa hidup sehat tidak harus menakutkan, dan peduli bukan berarti sudah sakit. Dari kegelisahan seorang dokter, lahirlah ruang belajar bersama. Misalnya tempat di mana edukasi menjadi inklusif, komunitas menjadi keluarga baru, dan kesehatan menjadi gaya hidup yang dirayakan, bukan ditakuti.

Oke, aku jawab langsung dengan versi “sedikit tetapi jelas dan kuat secara naratif” supaya nanti bisa masuk mulus ke artikel final.

Mengenal SATU Indonesia Award & Bagaimana Cara Meraihnya?

SATU Indonesia Awards adalah penghargaan yang diberikan Astra kepada anak muda Indonesia (usia antara 16–35 tahun) yang menjalankan gerakan sosial dengan dampak nyata bagi masyarakat. Fokusnya bukan pada ide besar yang hanya indah di atas kertas, tetapi aksi yang terbukti berjalan dan mengubah kehidupan orang lain.

Penghargaan ini terbuka untuk lima bidang yaitu, Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan, Kewirausahaan, dan Teknologi, serta kategori khusus Kelompok. Proses seleksi biasanya menilai tiga hal:
  1. Nilai kebermanfaatan
  2. Keberlanjutan, dan
  3. Dampak sosial yang terukur
Artinya, program yang diajukan tidak hanya sekadar kegiatan seremonial, tetapi memiliki progres yang konsisten, penerima manfaat yang jelas, serta potensi berkembang lebih luas.

Kalau mau ikut SATU Indonesia Awards kamu bisa mendaftar di https://www.astra.co.id/social-contribution. Pastikan program sosialmu sudah berjalan minimal satu tahun, punya bukti dampak dan penerima manfaat yang jelas, lalu mendaftar sesuai bidang yang tepat (kesehatan, pendidikan, lingkungan, kewirausahaan, atau teknologi). Pemenangnya bisa dilihat di sini https://anugerahpewartaastra.satu-indonesia.com/.

Comments